Seksualitas Diri


Seksualitas Diri. Memahami Seksualitas Diri. Beruntunglah yang merasa memiliki seksualitas ”normal” dalam arti masuk dalam kelompok mayoritas atau tampil sesuai norma masyarakat. Sebenarnya ada banyak variasi dalam masyarakat yang perlu kita pahami, kadang untuk lebih mengerti diri sendiri, atau untuk lebih dapat memanusiakan manusia lain yang berbeda. Minder dan tak mengerti

Cerita B: ”Dari kecil saya minder, pemalu, sering dikerjain sama teman-teman, baik fisik maupun psikis, sehingga cenderung menyendiri sampai sekarang. Dalam keseharian saya bertingkah sebagai laki-laki, tetapi saya terlahir seperti banci dan semua orang berpandangan begitu. Saat dewasa semua orang menyarankan menikah. Orang tak tahu gimana kalutnya aku dan siapa aku sebenarnya. Aku cenderung suka pada laki-laki, tetapi kadang kalau memikirkan ke depan dan norma agama, saya berusaha menekan perasaan itu.

Saya ingin menikah, hidup normal, punya keluarga kecil yang bahagia. Permasalahannya, apa ada yang mau menerima keadaanku sebenarnya. Saya terbiasa onani, untuk menikah jelas tak mungkin, berhubungan dengan sesama jenis juga tak mungkin karena saya takut norma agama dan cemoohan orang. Apa lagi saya hidup di desa yang masyarakatnya belum bisa menerima orang dengan kelainan seperti saya.

Permasalahan lain muncul, sekarang saya sering buang air kecil, kadang sampai keluar sedikit di celana. Kadang kalau pas mengobrol sama teman dan mereka mencemooh banci, saya pilu.

Mohon saran, apakah saya harus menikah dan bagaimana mengatasi seringnya muncul rasa tak nyaman berada di keramaian, misalnya saat kondangan atau pertemuan? Apakah onani berbahaya bagi kesehatan?”

Sesungguhnya cukup banyak remaja dan orang muda mengalami kebingungan mengenai jati diri dan seksualitasnya. Apakah saya lesbian? Atau biseksual? Mengapa lahir dalam tubuh perempuan, padahal jiwa saya laki-laki?

Karena tubuh sempurna diidealkan, kadang rendah diri juga terkait kondisi tubuh. Misalnya, ”Saya laki-laki mengapa badan sangat kecil dan kerempeng?” Kegalauan itu dapat sangat menyakitkan dan membingungkan, seperti kata B, ”terasa pilu”. Sayang ada terlalu banyak pandangan normatif yang mudah mengotak-kotakkan, terlalu cepat menghakimi dan menghukum, yang sama sekali tidak menyelesaikan persoalan.

Variasi seksualitas

Barangkali keragaman manusia, termasuk dalam seksualitas, adalah fitrah. Kinsey dkk dalam penelitian klasiknya (1953) menemukan kontinum ketertarikan seksual manusia, mulai yang eksklusif heteroseksual, hingga eksklusif homoseksual, dengan banyak variasi di tengah. Meski dilakukan lebih dari 50 tahun lalu, penelitian ini masih sangat relevan, bahkan makin dikuatkan temuan-temuan lain pada masa kini.

Berbagai kajian ilmiah menemukan peran faktor genetik, neurobiologis dan sosial-psikologis, secara bersama atau sendiri. Hal itu dapat membantu lebih memahami keragaman seksualitas manusia, sekaligus meminimalkan stigma. Bila dulu homoseksualitas dianggap gangguan kejiwaan, Manual Penggolongan Gangguan Jiwa Asosiasi Psikiater Amerika dan digunakan banyak profesional kesehatan mental berbagai negara, termasuk Indonesia, kini tidak lagi mendiagnosisnya sebagai gangguan.

Kecuali individu itu sendiri menghayati tekanan sangat berat akibat keadaannya dan ingin mengubah diri. Selain itu, ada pula fenomena identitas jender minoritas, seperti laki-laki yang merasa terperangkap dalam badan perempuan atau sebaliknya. Juga ada anomali seksual, misalnya genitalia interseks yang tentu berdampak pada penghayatan psikologis manusia.

Bahagia meski ”berbeda”

Kembali ke kegalauan B. B sendiri yang dapat memutuskan apakah akan menikah atau tidak. Bila Anda merasa fitrah tertarik sama besar pada perempuan dan laki-laki, atau masih dapat belajar mencintai perempuan, barangkali dapat memutuskan menikah. Bila tidak, memaksa diri menikah malah menambah banyak masalah. Pada akhirnya manusia tidak dapat membohongi diri sendiri. Pula secara etis kita perlu jujur dan terbuka kepada (calon) pasangan mengenai karakteristik diri.

Tentang onani, secara psikologis kita semua makhluk seksual juga yang memiliki hasrat seksual. Jadi, hal tersebut manusiawi saja, juga lebih aman bagi diri sendiri maupun orang lain. Bayangkan bila karena tidak ada pasangan seksual kita lalu berhubungan dengan sembarang orang, atau malah melakukan kekerasan seksual kepada pihak lain. Bukankah itu lebih berbahaya dan merugikan? Walau demikian, B perlu merefleksi, apakah tindakannya telah berlebihan dan menjadi bentuk pelarian diri. Segala yang berlebihan berdampak kurang baik.

Klein (1990) mendefinisikan orientasi seksual lebih luas, luwes, sekaligus inklusif. Orientasi seksual mencakup banyak hal, ketertarikan seksual, fantasi seksual, gaya hidup, preferensi emosional, preferensi sosial, hingga ke identifikasi diri. Konsep ini memberi banyak pilihan bagi manusia menyesuaikan diri dalam norma masyarakat sekaligus tetap mengakui keunikan pribadi. Misalnya, tidak menikah dan mentransformasi ketertarikan romantis menjadi hubungan persahabatan. Bila perlu, individu interseks dapat menjalani operasi organ seksual seandainya membantu ketenangan diri.

Seksualitas manusia sangat kompleks, yang tidak dapat kita diskusikan tuntas dalam ruang terbatas ini. Menjadi homoseksual, biseksual, atau heteroseksual tidak bicara apa-apa tentang baik-buruk, benar-salah, atau martabat. Singkat kata, nilai manusia jauh melampaui identitas seksualnya. Meski harus melalui perjalanan jauh lebih sulit dan lama, semoga yang merasa berbeda juga dapat menerima diri serta menemukan kebahagiaan dan makna kehadiran kemanusiaannya. / kompas.com





No comments:

Post a Comment